Kembali aku menoleh ke belakang. Tidak ada siapa-siapa.
Mungkin perasaanku saja, ujarku dalam hati. Ku lirik jam tangan ku yang
menunjukan jam 4 sore, pantas keadaan parkiran sudah sepi. Hanya ada beberapa
motor yang masih setia menunggu majikannya untuk pulang. Aku sendiri baru
selesai dari ekskul ku yaitu jurnalistik. Sebenarnya belum selesai, hanya saja
aku izin pulang lebih awal. Mood ku dari tadi pagi sedang tidak bagus, ditambah
cuaca hari ini yang selalu mendung.
Aku tersenyum ketika melihat motor kesayangan ku dari
kejauhan. Waktunya pulang, batinku lirih. Kulangkahkan kaki menuju kendaraankuku.
Tak sampai 5 langkah, aku menghentikan langkah ku. Mereka benar-benar lupa…
Rasanya aku ingin menangis saja. Kenapa mereka semua bisa lupa hari ulang tahun
ku? Bahkan Agha pun juga tidak ingat. Aku sengaja tidak mengatakan apa-apa
kepada mereka tadi pagi. Aku masih menunggu hingga mereka sadar, bahwa temannya
yang satu ini sedang merayakan hari kelahirannya. Tapi, segitu buruk kah ingatan
mereka? Ingin sekali aku berteriak di parkiran ini.
Dengan kesal, aku berjalan secepat mungkin menuju motorku. Lebih baik pulang, tiduran di kamar sambil membaca novel. Lupakan hari ulang tahun ku!! Namun langkah itu mulai terdengar kembali. Siapa? Apakah penguntit? Tanpa sadar aku mulai sedikit berlari, dan langkah itu pun juga terdengar sedang berlari mengejarku. Tunggu. Kenapa aku mendengar langkah kaki banyak orang? Jangan-jangan aku akan dikeroyok. Oh tuhan, lindungilah aku.
Karena penasaran, ku beranikan diriku untuk menoleh ke belakang secepat mungkin, melihat apa yang terjadi sebenarnya. Dan sedetik kemudian aku merasa butiran-butiran putih mengenai seluruh tubuhku. Lalu disusul dengan cairan kuning mengenai rambutku. “Happy BirthdayNara ,” ujar mereka serempak lalu tertawa
terbahak-bahak.
Kulihat Nadya, Lunna, dan Dinda sedang membawa sisa-sisa tepung, yang tentu saja juga mengenai baju mereka walau tidak sebanyak aku. “Oh shiiitt.. Kalian gila apa?” teriakku kesal walau hati kecil ku merasa senang. Senang karena mereka ingat aku.
“Ya ampun, gitu aja ngambek. Sini gue kasi lagi,” Tio lalu melemparkan telur ke kepala ku dan semua kembali tertawa. Aku hanya bisa menunduk, membiarkan cairan kuning itu jatuh ke tanah. Dan tidak lama kemudian aku melihat Rizky membawa seember air. Buru-buru aku lari, namun ditahan oleh Nadya dan Dinda. Dan jadilah kami bertiga terkena air.
“Ya Rizky, kenapa gue jadi kena sih? Inikan
air bekas pel Pak Komar. Sialan lo!” rengek Nadya lalu melempar tepung yang
tersisa kearah Rizky. Rizky pun mencoba untuk menghindar. Aku tertawa melihat
mereka. Mereka bener-bener pasangan yang serasi.
Dan entah dari mana, Lunna tiba-tiba membawa blackforest yang berisi angka 16 kehadapan ku. “Make a wish dulu donk, Ra.”
Aku mulai memejamkan mata untuk berdoa. Ku buka mata secara perlahan sambil menatap satu persatu teman sekelas ku. Nadya, Rizky, Dinda, Lunna, Tio, dan.. “Agha mana?” tanya ku polos.
Kulihat raut wajah mereka berubah. Lalu Dinda menyela, “Agha lagi nganter Putri ke toko buku. Lo tau lah Putri, ee.. dia anak baru,” Kulihat Dinda sejenak ragu-ragu. “Bu Siska tadi nyuruh Agha buat nemenin Putri beli buku pelajaran.”
“Oh,” Hanya itu kata yang keluar dari mulut ku. Kupaksakan untuk tersenyum. Melihat perubahan ekspresiku, Tio yang memang terkenal jahil mulai melumuri wajahku dengan krim yang ada di kue, lalu disusul oleh Dinda. Tak mau kalah, aku langsung membalasnya. Selang beberapa menit, kami berenam sudah menjadi badut amatiran yang wajahnya dipenuhi krim.
Dengan kesal, aku berjalan secepat mungkin menuju motorku. Lebih baik pulang, tiduran di kamar sambil membaca novel. Lupakan hari ulang tahun ku!! Namun langkah itu mulai terdengar kembali. Siapa? Apakah penguntit? Tanpa sadar aku mulai sedikit berlari, dan langkah itu pun juga terdengar sedang berlari mengejarku. Tunggu. Kenapa aku mendengar langkah kaki banyak orang? Jangan-jangan aku akan dikeroyok. Oh tuhan, lindungilah aku.
Karena penasaran, ku beranikan diriku untuk menoleh ke belakang secepat mungkin, melihat apa yang terjadi sebenarnya. Dan sedetik kemudian aku merasa butiran-butiran putih mengenai seluruh tubuhku. Lalu disusul dengan cairan kuning mengenai rambutku. “Happy Birthday
Kulihat Nadya, Lunna, dan Dinda sedang membawa sisa-sisa tepung, yang tentu saja juga mengenai baju mereka walau tidak sebanyak aku. “Oh shiiitt.. Kalian gila apa?” teriakku kesal walau hati kecil ku merasa senang. Senang karena mereka ingat aku.
“Ya ampun, gitu aja ngambek. Sini gue kasi lagi,” Tio lalu melemparkan telur ke kepala ku dan semua kembali tertawa. Aku hanya bisa menunduk, membiarkan cairan kuning itu jatuh ke tanah. Dan tidak lama kemudian aku melihat Rizky membawa seember air. Buru-buru aku lari, namun ditahan oleh Nadya dan Dinda. Dan jadilah kami bertiga terkena air.
“Ya Rizky, kenapa gue jadi kena sih? Ini
Dan entah dari mana, Lunna tiba-tiba membawa blackforest yang berisi angka 16 kehadapan ku. “Make a wish dulu donk, Ra.”
Aku mulai memejamkan mata untuk berdoa. Ku buka mata secara perlahan sambil menatap satu persatu teman sekelas ku. Nadya, Rizky, Dinda, Lunna, Tio, dan.. “Agha mana?” tanya ku polos.
Kulihat raut wajah mereka berubah. Lalu Dinda menyela, “Agha lagi nganter Putri ke toko buku. Lo tau lah Putri, ee.. dia anak baru,” Kulihat Dinda sejenak ragu-ragu. “Bu Siska tadi nyuruh Agha buat nemenin Putri beli buku pelajaran.”
“Oh,” Hanya itu kata yang keluar dari mulut ku. Kupaksakan untuk tersenyum. Melihat perubahan ekspresiku, Tio yang memang terkenal jahil mulai melumuri wajahku dengan krim yang ada di kue, lalu disusul oleh Dinda. Tak mau kalah, aku langsung membalasnya. Selang beberapa menit, kami berenam sudah menjadi badut amatiran yang wajahnya dipenuhi krim.
***
Agha Daniswara. Nama yang sudah tak asing lagi di telinga
ku. Selain letak rumah yang bersebelahan, kami juga selalu satu sekolah bahkan
sekelas. Dimana ada Agha, selalu ada aku. Aku seperti menemukan sosok kakak di
dalam diri Agha, karena aku sendiri anak tunggal. Menjadi anak tunggal memang
mengasyikan. Semua perhatian Mama dan Papa tercurah untuk ku tanpa harus
terbagi. Namun hidup sendiri tanpa saudara juga sangat menyedihkan malah
membosankan. Kadang aku iri kepada mereka yang memiliki kakak atau adik. Tapi,
selama ada Agha yang selalu disamping ku, hidup menjadi anak tunggal tidak
masalah.
***
“Naraaa……!”
“Saya Pak! Saya Pak!” teriakku tak karuan. Mata ku mencoba melihat sekililing. Menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, inikan kamarku? Lalu…
“Ouch shittt! Gue kira apa. Gila lo, Ga. Ngapaen lo disini?” ujar ku kesal. Ku tarik selimut untuk menutupi tubuhku. Berniat melanjutkan mimpi ku yang tertunda gara-gara teriakan mahluk aneh ini.
Agha tertawa. “Ya ampun, dasar putri tidur. Buruan lo bangun, ini udah jam 10 pagi. Masa cewek males gini?” Agha menarik selimut ku lalu ditaruhnya di sofa.
“Agha!! Selimut gue balikin. Lagian ngapain juga bangun pagi? Ini tuh masih LIBURAN. Tahun ini kita kelas tiga, pasti belajar mulu kerjaannya. Kasi donk gue nikmatin liburan gue.” Jelas ku panjang lebar.
Ku dengar tawa Agha makin keras, seolah-olah mengganggu tidurku adalah hal terlucu di dunia ini. Aku hanya bisa pasrah. Beberapa bulan telah berlalu sejak hari itu. Hari dimana aku putus dengan Agha. Seperti yang kuduga, setelah kejadian itu hubungan kami kembali seperti SMP dulu. Dimana kami sering mengejek satu sama lain. Agha kembali pada hobby-nya yang senang melihat aku menderita. Dan aku kembali pada hobby lama ku, sering merecoki dia dengan kalimat panjang lebar.
“Cerewet banget sih,” rutuk Agha. “Buruan lo mandi, kita ke toko buku sekarang. Hari ini terakhir diskon lho. Katanya mau cari novel?” Aku melirik sebal kepadanya. Agha menghampiri aku, lalu dengan gemas Agha mengacak-acak rambut ku.
“Bilang aja lo mau beli komik. Pakek alasan gue beli novel lagi. Muna lo! Dari mana lo tau kalo diskonnya masih?” Kata ku sambil merapikan rambut ku yang berantakan.
“Dinda yang ngasi tau. Terserah mau percaya atau nggak. Yang penting lo buruan mandi.” Lalu Agha pergi ke arah meja belajar untuk melihat koleksi novelku. Aku terkadang heran dengan Agha. Untuk ukuran cowok tinggi yang jago main basket, masa sih dia masih doyan baca komik. Apalagi komik favoritnya Detektif Conan. Benar-benar deh si Agha.
“Agha cakep, dengerin gue ya. Gue sih udah dari tadi mau mandi. TAPI GIMANA CARANYA GUE MANDI KALO LO MASIH BERKELIARAN DI KAMAR GUE???” Dan tak butuh waktu lama, bantal-bantal di tempat tidurku sudah melayang ke wajah Agha. Kulihat Agha mencoba menghindar dari serangan bantal-bantal sambil tertawa, lalu keluar dari kamarku.
Dilihat dari mana pun, kami memang hanya cocok untuk sahabatan. Setidaknya untuk saat ini. Aku tersenyum dan beranjak pergi dari tempat tidurku. Bersiap-siap untuk pergi ke tempat favorit kami. Dimana lagi kalo bukan toko buku. :D
“Saya Pak! Saya Pak!” teriakku tak karuan. Mata ku mencoba melihat sekililing. Menyelidiki apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, ini
“Ouch shittt! Gue kira apa. Gila lo, Ga. Ngapaen lo disini?” ujar ku kesal. Ku tarik selimut untuk menutupi tubuhku. Berniat melanjutkan mimpi ku yang tertunda gara-gara teriakan mahluk aneh ini.
Agha tertawa. “Ya ampun, dasar putri tidur. Buruan lo bangun, ini udah jam 10 pagi. Masa cewek males gini?” Agha menarik selimut ku lalu ditaruhnya di sofa.
“Agha!! Selimut gue balikin. Lagian ngapain juga bangun pagi? Ini tuh masih LIBURAN. Tahun ini kita kelas tiga, pasti belajar mulu kerjaannya. Kasi donk gue nikmatin liburan gue.” Jelas ku panjang lebar.
Ku dengar tawa Agha makin keras, seolah-olah mengganggu tidurku adalah hal terlucu di dunia ini. Aku hanya bisa pasrah. Beberapa bulan telah berlalu sejak hari itu. Hari dimana aku putus dengan Agha. Seperti yang kuduga, setelah kejadian itu hubungan kami kembali seperti SMP dulu. Dimana kami sering mengejek satu sama lain. Agha kembali pada hobby-nya yang senang melihat aku menderita. Dan aku kembali pada hobby lama ku, sering merecoki dia dengan kalimat panjang lebar.
“Cerewet banget sih,” rutuk Agha. “Buruan lo mandi, kita ke toko buku sekarang. Hari ini terakhir diskon lho. Katanya mau cari novel?” Aku melirik sebal kepadanya. Agha menghampiri aku, lalu dengan gemas Agha mengacak-acak rambut ku.
“Bilang aja lo mau beli komik. Pakek alasan gue beli novel lagi. Muna lo! Dari mana lo tau kalo diskonnya masih?” Kata ku sambil merapikan rambut ku yang berantakan.
“Dinda yang ngasi tau. Terserah mau percaya atau nggak. Yang penting lo buruan mandi.” Lalu Agha pergi ke arah meja belajar untuk melihat koleksi novelku. Aku terkadang heran dengan Agha. Untuk ukuran cowok tinggi yang jago main basket, masa sih dia masih doyan baca komik. Apalagi komik favoritnya Detektif Conan. Benar-benar deh si Agha.
“Agha cakep, dengerin gue ya. Gue sih udah dari tadi mau mandi. TAPI GIMANA CARANYA GUE MANDI KALO LO MASIH BERKELIARAN DI KAMAR GUE???” Dan tak butuh waktu lama, bantal-bantal di tempat tidurku sudah melayang ke wajah Agha. Kulihat Agha mencoba menghindar dari serangan bantal-bantal sambil tertawa, lalu keluar dari kamarku.
Dilihat dari mana pun, kami memang hanya cocok untuk sahabatan. Setidaknya untuk saat ini. Aku tersenyum dan beranjak pergi dari tempat tidurku. Bersiap-siap untuk pergi ke tempat favorit kami. Dimana lagi kalo bukan toko buku. :D
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar